Manusia merupakan makhluk sosial yang
selalu berinteraksi dengan individu lainnya. Manifestasi dari sifat manusia
sebagai makhluk sosial menjadikan manusia senantiasa membutuhkan orang lain,
saling bersosialisasi, bertukar berbagai macam hal, hingga meneruskan
keturunan. Hal ini merupakan wujud dari dorongan kebutuhan dasar manusia untuk
dicintai dan dimiliki. Maslow menyebutkan bahwa kebutuhan manusia untuk
dicintai dan dimiliki terwujud dalam beberapa hal, seperti dorongan untuk
bersahabat, keinginan memiliki pasangan dan keturunan, dan kebutuhan untuk
melekat pada sebuah keluarga, lingkungan bertetangga atau berbangsa. Selain
itu, Maslow lebih lanjut menjelaskan bahwa kebutuhan ini juga mencakup sejumlah
aspek hubungan seksual dan hubungan interpersonal, seperti kebutuhan untuk
memberi dan menerima cinta.
Istilah pelakor atau perebut laki orang masih menggema di kalangan pasangan
suami istri. Tentu saja hal ini memicu retaknya rumah tangga seseorang dan
menjadi perhatian masyarakat. Kasus yang sedang booming akhir-akhir ini adalah kasus perselingkuhan yang dilakukan
oleh artis Indonesia, Jeniffer Dunn dengan seorang pengusaha bernama Faisal Harris.
Kasus tersebut tersebar luas setelah, Shafa Harris yang merupakan anak dari
Faisal Harris dari istri pertamanya melabrak Jeniffer Dunn atau selingkuhan ayahnya
tersebut disebuah mall yang kemudian videonya viral di dunia maya. Atau kasus
lokal yang terjadi di Kota Banjarmasin sendiri, yaitu perselingkuhan yang
dilakukan oleh seorang suami dengan sahabat istrinya sendiri, yang kemudian
video yang merekam kejadian ‘pelabrakan’ tersebut tak kalah viralnya. Lalu,
bagaimana sebenarnya ilmu Psikologi memandang fenomena pelakor seperti ini?
Definisi perselingkuhan sendiri menurut
Blow dan Hartnett (dalam McAnulty & Brineman, 2007), adalah kegiatan
seksual dan atau emosional yang dilakukan oleh salah satu atau kedua individu
yang terikat dalam hubungan berkomitmen dan dianggap melanggar kepercayaan
dan/atau norma-norma (yang terlihat maupun tidak terlihat) yang berhubungan
dengan eksklusivitas emosional atau seksual. Ternyata, menurut Shackelford,
LeBlanc, & Drass, perselingkuhan memiliki dua tipe, yaitu perselingkuhan
emosional dan perselingkuhan seksual. Perselingkuhan seksual adalah kegiatan
seksual yang dilakukan dengan orang lain selain pasangan, sedangkan
perselingkuhan emosional adalah memberikan cinta, waktu, dan perhatian kepada
orang lain selain pasangan.
Menurut beberapa kasus, perselingkuhan
yang lebih sering dilakukan pada zaman sekarang adalah tipe perselingkuhan
emosial. Hubungan dengan pasangan selingkuh biasanya diawali dari bentuk
perhatian secara moril, materiil kemudian berkembang hingga melakukan hubungan
seksual, bahkan ada yang sampai mengakibatkan kehamilan. Ada tiga bentuk
perselingkuhan, pertama adalah the exit
affair, yaitu perselingkuhan merupakan cara bagi untuk dapat lepas dari pasangannya. Kedua adalah the boat rocking affair, yaitu
perselingkuhan terjadi karena ketidakpuasan dari hubungan yang dimiliki dengan
pasangan. Dan yang ketiga adalah perselingkuhan karena dendam, yaitu
perselingkuhan terjadi karena seseorang merasa terhina oleh perlakuan pasangan
yang lebih memperhatikan istri pertama.
Kebanyakan
dari para pelakor adalah kalangan
wanita dewasa awal atau muda, dimana dewasa muda merupakan tahap awal
kedewasaan dalam kehidupan seseorang. Menurut Papalia (2007), rentang usia
dewasa muda berawal dari usia 20 sampai dengan usia 40. Perselingkuhan yang
terus dilakukan memperlihatkan bahwa para
pelakor tidak secara penuh mengalami perkembangan yang mengarah pada kedewasaan.
Mereka menemukan pasangan hidup. Mereka hanya mengalami kedewasaan secara fisik
tanpa berkembang penuh secara psikologis.
Agustine (2006) mengemukakan masa dewasa
muda merupakan masa membina kedekatan dan hubungan yang lebih dalam dengan
lawan jenis. Havigurst (2003) juga mengemukakan tugas-tugas perkembangan dewasa
muda diantaranya mencari dan menemukan calon pasangan hidup, membina kehidupan
berumah tangga, meniti karir dalam rangka memantapkan kehidupan ekonomi rumah tangga,
dan menjadi warga negara yang bertanggung jawab. Pada rentang usia dewasa muda,
seseorang sedang menjalani level keenam dari perkembangan psikososial yang
dikemukakan oleh Erikson (dalam Papalia, 2007). Level keenam dari tugas
perkembangan tersebut, intimacy versus
isolation, menjadi isu utama dalam tahapan usia dewasa muda. Salah satu
cara yang dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan akan intimacy pada tahap dewasa muda adalah mencari pasangan hidup
melalui hubungan romantis, yaitu berpacaran.
Selanjutnya kita akan membahas apa
sebenarnya motivasi para pelakor ini
yang tentunya berdasarkan perspektif psikologi. Jadi, menurut penelitian yang
dilakukan oleh Intaglia Harsanti, S.Psi., M.Si yang berjudul Motivasi Seorang Wanita Untuk Melakukan Perselingkuhan,
wanita yang berselingkuh kebanyakan adalah para janda atau wanita yang sudah
pernah merasakan pernikahan sebelumnya. Kesimpulannya adalah penyebab
perselingkuhan yang dilakukan para pelakor
tersebut berasal dari ketidakpuasan secara seksual, kekurangan secara ekonomi,
tidak adanya kontrol sosial baik dari lingkungan orang dekat maupun masyarakat,
ketakutan dari ketidakpastian masa depan hubungan bersama pasangan dan adanya
masalah kepribadian karena selalu memiliki ketidakpuasan dalam hubungan dengan pasangan.
Berbagai penjabaran dari alasan - alasan
subjek melakukan perselingkuhan memperlihatkan adanya tindakan para pelaku
perselingkuhan untuk memenuhi kebutuhannya, baik itu secara fisik maupun
psikis. Harley dan Chalmers (2001) mengemukakan bahwa kebutuhan yang tidak
terpenuhi memiliki dampak yang amat besar sebagai pendorong perilaku individu.
Hal ini seperti yang dikemukakan Abraham Maslow tentang Hirarki Kebutuhan yang
berisi lima tingkatan kebutuhan pokok manusia yang kemudian menjadi dasar dari
pembelajaran motivasi manusia. Kelima tingkatan kebutuhan pokok tersebut adalah
kebutuhan fisiologis (sandang, pangan, papan, kesehatan fisik, kebutuhan seks,
dsb), kebutuhan akan rasa aman dan perlindungan (jaminan keamanan, terlindung
dari bahaya, ancaman penyakit, perang, kemiskinan, kelaparan, perlakuan tidak
adil, dsb), kebutuhan akan kasih sayang dan dicintai (kebutuhan dicintai, diperhitungkan
sebagai pribadi, diakui sebagai anggota kelompok, rasa setia kawan, kerjasama,
dsb), kebutuhan akan penghargaan (kebutuhan berprestasi, kemampuan, kedudukan,
status, dsb), dan yang terakhir kebutuhan akan aktualisasi diri (mempertinggi
dan mengembangkan potensi diri, kreatifitas dan ekspresi diri).
Pada
pernikahan sebelumnya bisa jadi para pelakor
ini merasa kekurangan dari segi kebutuhan untuk dicintai atau kedekatan fisik
(kebutuhan sosial atau kasih sayang). Kebutuhan sosial sendiri berasal dari keinginan
untuk berada bersama pasangan yang dicintai dan mencintai. Selain itu, kekurangan
dari segi kebutuhan dasar yang sifatnya primer atau kebutuhan fisiologis yang berasal
dari perasaan kurang terpenuhinya keinginan mereka secara seksual dan ekonomi
oleh pasangan sebelumnya. Perselingkuhan yang dilakukan membuat mereka merasa
dapat memperoleh pemuasan dari segi kebutuhan tersebut. Adanya perasaan ketidakpastian
mereka akan masa depan hubungan dengan pasangan sebelumnya juga merupakan tanda
tidak terpenuhinya kebutuhan dari segi kebutuhan rasa aman dan perlindungan. Perselingkuhan
yang dilakukan membuat mereka merasa memperoleh pemuasan dari berbagai segi
kebutuhan yang sebelumnya mereka rasakan kurang dapat dipenuhi oleh pasangan
(suami) sebelumnya atau dari dirinya sendiri.
Selain itu, Then (2002) mengemukakan
motivasi utama para wanita berselingkuh adalah dorongan dan rasa percaya diri
yang telah terkikis setelah sekian lama menjalani perkawinan. Tak hanya itu,
sejumlah wanita yang berselingkuh
mengatakan tentang alasan perselingkuhan mereka, seperti meningkatnya rasa
percaya diri ketika merasa diperhatikan pria lain, adanya keinginan akan
pengalaman seksual yang lebih luas yang tidak dibatasi oleh hanya satu pasangan
saja, suatu keinginan mencari kedekatan emosional yang mereka harapkan dapat
mereka peroleh dari orang lain, mengusir rasa kesepian yang mereka alami,
keinginan mendapatkan kasih sayang, serta kegairahan yang ditimbulkan dari
suatu hubungan perselingkuhan yang membuat mereka merasa diri menjadi lebih
muda, dimana hal ini juga merupakan upaya menyangkal proses penuaan yang mereka
alami. Selain itu, menurut Satiadarma (2001) faktor psikofisik seperti
keterpikatan fisik & kebutuhan biologis, faktor sosial seperti masalah
kultural, perbedaan kelas sosial, perbedaan agama, perbedaan kebiasaan, desakan
ekonomi, dan pengaruh teman, serta faktor psikologis seperti masalalah
kepribadian, kebutuhan, tekanan, reduksi tegangan, dinamika psikologis, dan
aspek moral, dapat menjadi faktor penyebab yang memotivasi perselingkuhan yang dilakukan
oleh seorang individu.
Perkembangan zaman dan gaya hidup
yang semakin hari membuat manusia menginginkan hal yang berbau ‘praktis’.
Tuntutan kehidupan yang memaksa manusia menghalalkan segala cara agar semua
kebutuhan hidupnya terpenuhi, termasuk dengan melakukan perselingkuhan dengan
laki-laki atau wanita yang sudah berkeluarga. Tak memikirkan lagi bagaimana
nasib anggota keluarganya, yang tentu saja akan menerima dampak dari
perselingkuhan tersebut. Nilai religiusitas dan peran lingkungan sangat berada
di posisi penting, karena dengan kedua hal tersebutlah kita mampu mengalahkan
keegoisan dalam diri kita dan menghindari kita dari perilaku tidak terpuji. Semoga
saya sebagai penulis, dan Anda sebagai pembaca bisa menjadi sosok manusia yang
lebih bijak lagi dalam menghadapi perkembangan zaman dan tuntutan kehidupan
yang semakin keras ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar