Selasa, 03 April 2018

Fenomena Pelakor ditinjau dari Perspektif Psikologi



Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan individu lainnya. Manifestasi dari sifat manusia sebagai makhluk sosial menjadikan manusia senantiasa membutuhkan orang lain, saling bersosialisasi, bertukar berbagai macam hal, hingga meneruskan keturunan. Hal ini merupakan wujud dari dorongan kebutuhan dasar manusia untuk dicintai dan dimiliki. Maslow menyebutkan bahwa kebutuhan manusia untuk dicintai dan dimiliki terwujud dalam beberapa hal, seperti dorongan untuk bersahabat, keinginan memiliki pasangan dan keturunan, dan kebutuhan untuk melekat pada sebuah keluarga, lingkungan bertetangga atau berbangsa. Selain itu, Maslow lebih lanjut menjelaskan bahwa kebutuhan ini juga mencakup sejumlah aspek hubungan seksual dan hubungan interpersonal, seperti kebutuhan untuk memberi dan menerima cinta.
Istilah pelakor atau perebut laki orang masih menggema di kalangan pasangan suami istri. Tentu saja hal ini memicu retaknya rumah tangga seseorang dan menjadi perhatian masyarakat. Kasus yang sedang booming akhir-akhir ini adalah kasus perselingkuhan yang dilakukan oleh artis Indonesia, Jeniffer Dunn dengan seorang pengusaha bernama Faisal Harris. Kasus tersebut tersebar luas setelah, Shafa Harris yang merupakan anak dari Faisal Harris dari istri pertamanya melabrak Jeniffer Dunn atau selingkuhan ayahnya tersebut disebuah mall yang kemudian videonya viral di dunia maya. Atau kasus lokal yang terjadi di Kota Banjarmasin sendiri, yaitu perselingkuhan yang dilakukan oleh seorang suami dengan sahabat istrinya sendiri, yang kemudian video yang merekam kejadian ‘pelabrakan’ tersebut tak kalah viralnya. Lalu, bagaimana sebenarnya ilmu Psikologi memandang fenomena pelakor seperti ini?
Definisi perselingkuhan sendiri menurut Blow dan Hartnett (dalam McAnulty & Brineman, 2007), adalah kegiatan seksual dan atau emosional yang dilakukan oleh salah satu atau kedua individu yang terikat dalam hubungan berkomitmen dan dianggap melanggar kepercayaan dan/atau norma-norma (yang terlihat maupun tidak terlihat) yang berhubungan dengan eksklusivitas emosional atau seksual. Ternyata, menurut Shackelford, LeBlanc, & Drass, perselingkuhan memiliki dua tipe, yaitu perselingkuhan emosional dan perselingkuhan seksual. Perselingkuhan seksual adalah kegiatan seksual yang dilakukan dengan orang lain selain pasangan, sedangkan perselingkuhan emosional adalah memberikan cinta, waktu, dan perhatian kepada orang lain selain pasangan.
Menurut beberapa kasus, perselingkuhan yang lebih sering dilakukan pada zaman sekarang adalah tipe perselingkuhan emosial. Hubungan dengan pasangan selingkuh biasanya diawali dari bentuk perhatian secara moril, materiil kemudian berkembang hingga melakukan hubungan seksual, bahkan ada yang sampai mengakibatkan kehamilan. Ada tiga bentuk perselingkuhan, pertama adalah the exit affair, yaitu perselingkuhan merupakan cara bagi  untuk dapat lepas dari pasangannya. Kedua adalah the boat rocking affair, yaitu perselingkuhan terjadi karena ketidakpuasan dari hubungan yang dimiliki dengan pasangan. Dan yang ketiga adalah perselingkuhan karena dendam, yaitu perselingkuhan terjadi karena seseorang merasa terhina oleh perlakuan pasangan yang lebih memperhatikan istri pertama.
            Kebanyakan dari para pelakor adalah kalangan wanita dewasa awal atau muda, dimana dewasa muda merupakan tahap awal kedewasaan dalam kehidupan seseorang. Menurut Papalia (2007), rentang usia dewasa muda berawal dari usia 20 sampai dengan usia 40. Perselingkuhan yang terus dilakukan memperlihatkan bahwa para pelakor tidak secara penuh mengalami perkembangan yang mengarah pada kedewasaan. Mereka menemukan pasangan hidup. Mereka hanya mengalami kedewasaan secara fisik tanpa berkembang penuh secara psikologis.
Agustine (2006) mengemukakan masa dewasa muda merupakan masa membina kedekatan dan hubungan yang lebih dalam dengan lawan jenis. Havigurst (2003) juga mengemukakan tugas-tugas perkembangan dewasa muda diantaranya mencari dan menemukan calon pasangan hidup, membina kehidupan berumah tangga, meniti karir dalam rangka memantapkan kehidupan ekonomi rumah tangga, dan menjadi warga negara yang bertanggung jawab. Pada rentang usia dewasa muda, seseorang sedang menjalani level keenam dari perkembangan psikososial yang dikemukakan oleh Erikson (dalam Papalia, 2007). Level keenam dari tugas perkembangan tersebut, intimacy versus isolation, menjadi isu utama dalam tahapan usia dewasa muda. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan akan intimacy pada tahap dewasa muda adalah mencari pasangan hidup melalui hubungan romantis, yaitu berpacaran.
            Selanjutnya kita akan membahas apa sebenarnya motivasi para pelakor ini yang tentunya berdasarkan perspektif psikologi. Jadi, menurut penelitian yang dilakukan oleh Intaglia Harsanti, S.Psi., M.Si yang berjudul Motivasi Seorang Wanita Untuk Melakukan Perselingkuhan, wanita yang berselingkuh kebanyakan adalah para janda atau wanita yang sudah pernah merasakan pernikahan sebelumnya. Kesimpulannya adalah penyebab perselingkuhan yang dilakukan para pelakor tersebut berasal dari ketidakpuasan secara seksual, kekurangan secara ekonomi, tidak adanya kontrol sosial baik dari lingkungan orang dekat maupun masyarakat, ketakutan dari ketidakpastian masa depan hubungan bersama pasangan dan adanya masalah kepribadian karena selalu memiliki ketidakpuasan dalam hubungan dengan pasangan.
            Berbagai penjabaran dari alasan - alasan subjek melakukan perselingkuhan memperlihatkan adanya tindakan para pelaku perselingkuhan untuk memenuhi kebutuhannya, baik itu secara fisik maupun psikis. Harley dan Chalmers (2001) mengemukakan bahwa kebutuhan yang tidak terpenuhi memiliki dampak yang amat besar sebagai pendorong perilaku individu. Hal ini seperti yang dikemukakan Abraham Maslow tentang Hirarki Kebutuhan yang berisi lima tingkatan kebutuhan pokok manusia yang kemudian menjadi dasar dari pembelajaran motivasi manusia. Kelima tingkatan kebutuhan pokok tersebut adalah kebutuhan fisiologis (sandang, pangan, papan, kesehatan fisik, kebutuhan seks, dsb), kebutuhan akan rasa aman dan perlindungan (jaminan keamanan, terlindung dari bahaya, ancaman penyakit, perang, kemiskinan, kelaparan, perlakuan tidak adil, dsb), kebutuhan akan kasih sayang dan dicintai (kebutuhan dicintai, diperhitungkan sebagai pribadi, diakui sebagai anggota kelompok, rasa setia kawan, kerjasama, dsb), kebutuhan akan penghargaan (kebutuhan berprestasi, kemampuan, kedudukan, status, dsb), dan yang terakhir kebutuhan akan aktualisasi diri (mempertinggi dan mengembangkan potensi diri, kreatifitas dan ekspresi diri).
Pada pernikahan sebelumnya bisa jadi para pelakor ini merasa kekurangan dari segi kebutuhan untuk dicintai atau kedekatan fisik (kebutuhan sosial atau kasih sayang). Kebutuhan sosial sendiri berasal dari keinginan untuk berada bersama pasangan yang dicintai dan mencintai. Selain itu, kekurangan dari segi kebutuhan dasar yang sifatnya primer atau kebutuhan fisiologis yang berasal dari perasaan kurang terpenuhinya keinginan mereka secara seksual dan ekonomi oleh pasangan sebelumnya. Perselingkuhan yang dilakukan membuat mereka merasa dapat memperoleh pemuasan dari segi kebutuhan tersebut. Adanya perasaan ketidakpastian mereka akan masa depan hubungan dengan pasangan sebelumnya juga merupakan tanda tidak terpenuhinya kebutuhan dari segi kebutuhan rasa aman dan perlindungan. Perselingkuhan yang dilakukan membuat mereka merasa memperoleh pemuasan dari berbagai segi kebutuhan yang sebelumnya mereka rasakan kurang dapat dipenuhi oleh pasangan (suami) sebelumnya atau dari dirinya sendiri.
            Selain itu, Then (2002) mengemukakan motivasi utama para wanita berselingkuh adalah dorongan dan rasa percaya diri yang telah terkikis setelah sekian lama menjalani perkawinan. Tak hanya itu, sejumlah wanita yang berselingkuh  mengatakan tentang alasan perselingkuhan mereka, seperti meningkatnya rasa percaya diri ketika merasa diperhatikan pria lain, adanya keinginan akan pengalaman seksual yang lebih luas yang tidak dibatasi oleh hanya satu pasangan saja, suatu keinginan mencari kedekatan emosional yang mereka harapkan dapat mereka peroleh dari orang lain, mengusir rasa kesepian yang mereka alami, keinginan mendapatkan kasih sayang, serta kegairahan yang ditimbulkan dari suatu hubungan perselingkuhan yang membuat mereka merasa diri menjadi lebih muda, dimana hal ini juga merupakan upaya menyangkal proses penuaan yang mereka alami. Selain itu, menurut Satiadarma (2001) faktor psikofisik seperti keterpikatan fisik & kebutuhan biologis, faktor sosial seperti masalah kultural, perbedaan kelas sosial, perbedaan agama, perbedaan kebiasaan, desakan ekonomi, dan pengaruh teman, serta faktor psikologis seperti masalalah kepribadian, kebutuhan, tekanan, reduksi tegangan, dinamika psikologis, dan aspek moral, dapat menjadi faktor penyebab yang memotivasi perselingkuhan yang dilakukan oleh seorang individu.
            Perkembangan zaman dan gaya hidup yang semakin hari membuat manusia menginginkan hal yang berbau ‘praktis’. Tuntutan kehidupan yang memaksa manusia menghalalkan segala cara agar semua kebutuhan hidupnya terpenuhi, termasuk dengan melakukan perselingkuhan dengan laki-laki atau wanita yang sudah berkeluarga. Tak memikirkan lagi bagaimana nasib anggota keluarganya, yang tentu saja akan menerima dampak dari perselingkuhan tersebut. Nilai religiusitas dan peran lingkungan sangat berada di posisi penting, karena dengan kedua hal tersebutlah kita mampu mengalahkan keegoisan dalam diri kita dan menghindari kita dari perilaku tidak terpuji. Semoga saya sebagai penulis, dan Anda sebagai pembaca bisa menjadi sosok manusia yang lebih bijak lagi dalam menghadapi perkembangan zaman dan tuntutan kehidupan yang semakin keras ini.

Surat #7

Teruntuk Kamu yang Telah Ia Datangkan, Hai, salam kenal. Semoga do'a-do'a kita di-amin-kan segera oleh penduduk langit. Sampai berju...